Konseling Rehabilitasi

Friday 15 May 2015

KONSELING REHABILITASI:
Studi  terhadap Proses Penyembuhan Pasien Gangguan Jiwa  di  Panti Rehabilitasi Loro Jiwo “Nurussalam” Ngrepeh Sayung Demak dan Di Panti Rehabilitasi Mental “An-Nur” Bungkanel Karanganyar Purbalingga


A.    Latar Belakang Masalah
Majalah "Dokter Kita", edisi 12 Desember 2009, melansir berita yang pada intinya, 30% penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan. Dari angka itu, 10% di antaranya mengalami gangguan kejiwaan serius seperti Skizofrenia, gangguan Bipolar serta Depresi Psikotik. Dengan populasi yang mencapai lebih dari 220 juta, maka diperkirakan terdapat 66 juta penduduk Indonesia pernah mengalami gangguan kejiwaan. Jumlah orang yang terkena dampaknya meningkat sangat  signifikan[1] bila menghitung minimal 8 orang anggota keluarga dari penderita ikut terkena dampak dari gangguannya. Oleh sebab itu, gangguan kejiwaan di Indonesia dapat berdampak pada lebih dari separuh penduduk
Data dari harian Kompas 23 Septermber 2009 menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat penyakit gangguan jiwa di Indonesia mencapai Rp 32 triliun per tahun. Jumlah penderita penyakit ini cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hasil studi Bank Dunia tahun 1995 di beberapa negara menunjukkan, 8,1 persen hari-hari produktif hilang akibat beban penyakit yang disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Angka tersebut lebih besar dibandingkan hari-hari produktif yang hilang akibat penyakit tuberkulosis (7,2 persen), kanker (5,8 persen), penyakit jantung (4,4 persen), dan malaria (2,6 persen). Menurut hasil penelitian terbaru di Indonesia, satu hingga tiga orang per mil mengalami gangguan jiwa berat (psikosis). Sedangkan harian Pikiran Rakyat 20 Juni 2006 menyebutkan bahwa 20-40 orang per mil mengalami gangguan kesehatan jiwa ringan atau neurosis.

Data survei lainnya menunjukkan satu dari tiga pengunjung pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) mengeluhkan gangguan mental dan emosional. Studi yang dilakukan di 11 pusat penelitian kesehatan jiwa di Indonesia juga menunjukkan bahwa satu dari lima orang responden yang diteliti pernah satu kali mengalami gangguan kesehatan jiwa selama hidup mereka. Fakta ini menunjukkan bahwa kesehatan jiwa merupakan masalah penting yang harus mendapat perhatian penuh. Namun, sayangnya perhatian pemerintah terhadap penanganan masalah kesehatan jiwa relatif masih kurang[2].
dak mudah untuk menangkap gejala yang dinamakan ‘kesulitan/problem psikis’ dalam suatu uraian yang pendek. Istilah yang paling jelas adalah perkataan tekanan jiwa atau stress[3]. Tekanan itu dipelajari oleh para dokter maupun psikolog. Dokter mengetahui tekanan jiwa pasiennya untuk memberikan kepastian penyakit yang dideritanya  sehingga diberikan pengobatan yang tepat kepada pasiennya. Begitu juga psikolog atau konselor akan memberikan solusi yang tepat dalam membantu meringankan beban kliennya manakala ia mengetahui tekanan jiwa kliennya. Demikianlah gambaran manusia dengan tekanan jiwa yang selalu menyertainya dalam meniti kehidupan dunia ini. Ketidak-mampuan manusia mengatasi kegagalan/tekanan jiwa itu merupakan salah satu bentuk kelemahan manusia yang tidak mampu meneropong dirinya sendiri sebagai mahluk berke-Tuhanan. Utsman Najati mengatakan bahwa pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri akan membantunya untuk mampu mengekang hawa nafsu, dan mampu menjaganya dari kesesatan serta tindak penyimpangan. Juga mengarahkannya ke jalan iman, amal shaleh, serta prilaku sehat yang akan memberikan kepada manusia kehidupan yang aman sentosa dan merealisasikan kebahagiaan dunia dan akhirat baginya.
Persoalannya menurut harian Kompas tanggal 1 Juni 2009 menyebutkan bahwa hanya 3,5 persen penderita gangguan jiwa berat di Indonesia yang mendapatkan terapi oleh petugas kesehatan[4]. Artinya 96,5 persen di antaranya tidak mendapatkan pengobatan yang semestinya. Minimnya perhatian dan kepedulian pemerintah dalam menangani pasien gangguan kejiwaan, membuka kepedulian masyarakat khususnya dari pesantren untuk lebih berperan aktif dengan metode dan pendekatan yang khas religius seperti Ruqyah dan yang terpenting tidak membebankan biaya terapi kepada keluarga pasien. Terapi ruqyah untuk gangguan jiwa ini telah dipraktekkan di beberapa pesantren di Indonesia. Misalnya di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya[5], Pondok Pesantren Raudhatul Muttaqien Yogyakarta, Pondok Pesantren Al Ghafur Situbondo[6], Pondok Pesantren Al Islamy, Kulon Progo, Yogyakarta[7], dan di beberapa Pondok Pesantren maupun Yayasan Islam lainnya.  Secara medis metode ruqyah dalam arti membacakan ayat-ayat atau doa-doa yang terdapat di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah, sudah dapat diterima keefektifannya dalam terapi gangguan jiwa. Beberapa penerapan terapi doa, senada dengan ruqyah (doa dari Al Qur’an dan As Sunnah) yang dilakukan pada terapi gangguan jiwa di berbagai tempat telah membantu penyembuhan para penderita gangguan jiwa. Misalnya Dr. Dossey , dokter lulusan Universitas di Texas,  menjelaskan bahwa  hasil penelitian di Universitas Redland, California menunjukkan bahwa doa mempunyai pengaruh terhadap penyembuhan gangguan jiwa[8]. Selanjutnya hasil penelitian Snyderman (1996) menyatakan bahwa terapi medik saja tanpa disertai dengan agama (berdoa dan berzikir) tidaklah lengkap, sebaliknya terapi agama saja tanpa disertai dengan terapi medik tidaklah efektif. Suatu organisasi yang bernama Pastoral and Humanization Service telah memberikan pelayanan kesehatan jiwa agama ke rumah-rumah sakit dalam bentuk rawatan rohani pada penderita yang selama ini hanya menerima rawatan medik psikiatrik saja. Ternyata metode integrasi ini membawa hasil yang lebih baik, yaitu gejala-gejala gangguan jiwa lebih cepat teratasi dan lamanya perawatan di rumah sakit jiwa (long stay hospitalization) dapat diperpendek[9].
Dalam kerangka berfikir semacam inilah peneliti tertarik untuk mengangkat apa yang dilakukan oleh KH. Supono Mustajab dengan Panti tehabilitasi mental An-Nuur Bungkanil Karangayar Purbalingga dan KH. Nur Fathoni Zein di Panti Rehabilitasi Loro Jiwo Nurussalam Ngrepeh Sayung Demak yang secara garis besar mengaplikasikan terapi Islam untuk memberikan bantuan kepada sesama yang sedang mengalami gangguan kejiwaan.
B.     Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan penelitian ini secara garis besar akan mengungkap secara teoritis bagaimana karakteristik terapi yang dilakukan KH. Supono Mustajab di Panti Rehabilitasi Mental An-Nuur Karanganyar Purbalingga dan KH. Nur Fathoni Zein di Panti Rehabilitasi Loro Jiwo Sayung Demak yang secara garis besar memadukan konsep agama dan medis jika dibandingkan dengan konsep yang sama di tempat-tempat rehabilitasi lain seperti salah satunya yang dilakukan oleh Dedi Supriyadi dengan Yayasan At-Taubah yang didirikannya di Tasikmalaya, yang mengunakan metode Qur’ani sebagai landasan program rehabilitasi jiwa.
Penelitian ini secara praktis akan mengungkap dan komparasikan bagaimana implementasi konsep terapi Islam secara aplikatif yang meliputi terapi sholat, dzikir, doa, ritual dan sebagainya dalam proses penyembuhan pasien gangguan kejiwaan di kedua panti tersebut dan mengungkap tahapan penyembuhan yang menyangkut aspek spiritual dan medis serta bagaimana memformulasikan metode terapi yang dipaktekkan di masing-masing panti yang akhirnya penelitian ini akan menghadapkan kedua konsep ini untuk mencari persamaan dan perbedaan karakter serta bagaimana perbedaan karakter tersebut bisa terjadi, adakah deviasi teori terapi yang dimodifikasi dari para guru kedua pengasuh panti tersebut ataukah karakterisktik itu murni inovasi individual dan bagaimana proses inovasi tersebut muncul.
C.     Pembatasan Masalah
Populasi penelitian di masing masing obyek penelitian sebanyak 300 pasien gangguan jiwa yang terdiri dari rawat inap dan rawat jalan. Oleh karenanya penelitian ini mengambil sample 10% dari total populasi dengan mempertimbangkan perbedaan karakteristik pasien dan pross terapinya.
D.    Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi bagi kajian-kajian terapi Islam, khususnya dalam bidang ketenangan jiwa serta sebagai salah satu sumber yang dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan yang akan memberikan konstribusi awal terhadap pihak-pihak yang ingin mengkaji ketenangan jiwa dalam kehidupan manusia.
E.     Kajian Riset Sebelumnya
Penelitian tentang peran agama dan pesantren dalam proses penyembuhan pasien gangguan kejiwaan dalam bentuk buku telah banyak dilakukan dintaranya: 
  • Bambang dan Deny Riana (ed.). The True Power of Water Hikmah Air dalam Olah jiwa. Bandung: MQ Publishing, 2006.
  • Hasan Bisri. 53 Penjelasan Lengkap tentang Ruqyah Terapi Gangguan Sihir dan Jin Sesuai Syariat Islam. Jakarta: Ghaib Pustaka, 2005.
  • Damarhuda dan Imawan Mashuri. Zikir Penyembuhan ala Ustadz Haryono. Malang: Pustaka Zikir, 2005.
  • Dadang Hawari, Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002.
  • Juhaya S Praja. Model Tasawuf menurut Syari’ah Penerapannya dalam Perawatan Korban Narkotika dan Berbagai Penyakit Rohani. Tasikmalaya: Penerbit PT Latifah Press Institut Agama Islam Latifah Mubarakiyah (IAILM) Pondok Pesantren  Suryalaya Tasikmalaya, 1995.
  • T. Hemaya (trans.). Kata-kata Yang Menyembuhkan Kekuatan Doa dan Penyembuhan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Secara spesifik-komperhensif kajian implementasi Konseling rehabilitasi perspektip Islam dalam proses terapi pasien gangguan kejiawaan menurut pengamatan dan penelusuran penyusun belum pernah dibahas dan ditelaah secara utuh dan terperinci. Apalagi yang focus pada Panti Rehabilitasi Loro Jiwo Nurussalam yang berada di Desa Ngepreh, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak yang diasuh oleh KH. Nur Fathani Zein dan Panti Rehabilitasi Mental An-Nuur di desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga yang diasuh oleh KH. Supono Mustajab, sebagai obyek penelitian belum pernah disentuh dan dilakukan.
F.      Kerangka Teoritik
Istilah “konseling rehabilitasi” yang dipergunakan dalam artikel ini merupakan terjemahan langsung dari “counseling rehabilitation”. The Commission on Rehabilitation Counselor Certification (CRCC), Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh Parker et al. (2004:4) mendefinisikan counseling rehabilitation sebagai “a systematic process which assists persons with physical, mental, developmental, cognitive, and emotional disabilities to achieve their personal, career, and independent living goals in the most integrated setting possible through the application of the counseling process. The counseling process involves communication, goal setting, and beneficial growth or change through self-advocacy, psychological, vocational, social, and behavioral interventions”.
Sejalan dengan pengertian itu, The international Rehabilitation Counseling Consortium, sebuah kelompok yang beranggotakan beberapa organisasi profesi yang terkait dengan konseling rehabilitasi (Virginia Commonwealth University Department of Rehabilitation Counseling, 2005), mendefinisikan konselor rehabilitasi sebagai berikut: “A rehabilitation counselor is a counselor who possesses the specialized knowledge, skills and attitudes needed to collaborate in a professional relationship with people who have disabilities to achieve their personal, social, psychological and vocational goals. Di samping itu, Szymanski (Parker et al., 2004:4) mendefinisikan rehabilitation counseling sebagai "a profession that assists individuals with disabilities in adapting to the environment, assists environments in accommodating the needs of the individual, and works toward full participation of persons with disabilities in all aspects of society, especially work.".
 Definisi-definisi tersebut mencerminkan perbedaan pendekatan terhadap ketunaan, yaitu pendekatan individual dan pendekatan lingkungan/sosial. Akan tetapi, kedua pendekatan tersebut ada dalam praktek profesional konseling rehabilitasi saat ini (Parker et al., 2004). Oleh karena itu, agar mencakup kedua pendekatan tersebut, penulis menggabungkan kedua definisi tersebut ke dalam rumusan sebagai berikut: Konseling rehabilitasi adalah proses konseling untuk membantu individu penyandang ketunaan dalam beradaptasi dengan lingkungan, dan membantu lingkungan dalam mengakomodasi kebutuhan individu tersebut agar dapat mencapai tujuan personal, vokasional, dan kehidupan yang mandiri, dan mampu berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan masyarakat.
Prinsip dasar profesi konseling rehabilitasi adalah membantu individu penyandang ketunaan fisik, mental, kognitif dan/atau sensori agar menjadi atau tetap menjadi warga masyarakat yang mandiri dan produktif dalam lingkungan masyarakat pilihannya sendiri. Konselor membantu penyandang ketunaan merespon secara konstruktif terhadap berbagai tantangan masyarakat, merencanakan karir, dan mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan yang memberi kepuasan (The Virginia Commonwealth University Department of Rehabilitation Counseling, 2005). Pengetahuan khusus tentang ketunaan dan faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi dengan ketunaan, serta berbagai pengetahuan dan keterampilan lain di samping konseling, membedakan konselor rehabilitasi dari jenis-jenis konselor lainnya (Parker et al, 2004).
G.    Metodologi Penelitian
1.      Jenis dan Pendekatan Penelitian
Sesuai rumusan masalah yang terdeskripsikan dengan  berbagai aspek yang melingkupinya dan dengan pertimbangan bahwa dalam penelitian ini tidak mengejar yang terukur, menggunakan logika matematik dan membuat generalisasi atas neraca maka  jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif[10]. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus[11]. Pendekatan ini secara tehnis menjelaskan mengenai berbagai aspek yang terkait dengan proses terapi dari tahap awal sampai akhir dengan berbagai tehnik dan metode yang dipaktekkan di obyek penelitian.
2.      Subjek Penelitian
 Subjek penelitian merupakan sumber tempat memperoleh keterangan penelitian[12]. Subyek utama dari penelitian ini adalah seluruh pasien baik yang masih dalam proses terapi maupun yang sudah dinyatakan sembuh dan penggurus Panti Rehabilitasi Loro Jiwo Nurussalam yang berada di Desa Ngepreh, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak yang diasuh oleh KH. Nur Fathani Zein dan Panti Rehabilitasi Mental An-Nuur di desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga yang diasuh oleh KH. Supono Mustajab
3.      Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah pertama: “Observasi Partisipasi” (ngobrol santai), ini digunakan untuk meminimalisir hambatan emotional. Pola ini dipakai untuk mewawancarai para pasien baik yang masih dalam proses terapi maupun yang sudah dinyatakan sembuh tentang semua hal yang terkait dengan diri, masa lalu dan kehidupan mereka. Kedua: “Wawancara Berstruktur”, berupa pertanyaan-pertanyaan yang berada diluar bidang emosional, ini dipergunakan untuk berdialog dengan pengurus serta pengasuh kedua panti rehabilitasi tentang proses, metode terapi serta maksud, oreintasi dan arah pembinanaan pasien. Ketiga: dokumentasi, metode ini untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan tentang pasien, buku doa, panduan resmi pengobatan dan sebagainya.
4.      Metode Analisis Data
Setelah proses memperoleh data-data dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi, langkah selanjutnya adalah mengklasifikasi sesuai dengan  permasalahan yang diteliti, kemudian data-data tersebut disusun dan dianalisa dengan  metode analisis data. Metode analisis data adalah jalan yang ditempuh untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap obyek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilimiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan  pengertian yang lain, guna sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya.. Setelah itu, perlu dilakukan telaah lebih lanjut guna mengakaji secara sistematis dan obyektif. Untuk mendukung hal tersebut, maka penulis dalam menganalisa secara garis besar menggunakan motode deskriptif analisis dan content analisis. Metode deskriptif analisis adalah sebuah metode yang mendeskripsikan dan menafsirkan data yang ada. Setelah data terdeskripsikan langkah selanjutnya adalah menganalisisnya dengan  menggunakan metode content analisis. Metode ini secara garis besar menganalisis secara detail metode dan cara pengobatan di kedua panti rehabilitasi tersebut.
Secara aplikatif dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analitis kritis. Metode ini merupakan pengembangan dari metode deskriptif[13], jika metode tersebut terakhir hanya berhenti pada pendeskripsian atau penggambaran gagasan atau konsep tanpa suatu analisis yang bersifat kritis, maka metode analitis kritis adalah merupakan deskripsi yang disertai dengan analisis yang bersifat kritis. Ini digunakan untuk mengetahui historisitas metode pengobatan sebagai sebuah penemuan baru dari pengasuh panti atau merupakan kombinasi dan akulturasi konsep dari para guru dan pendahulu mereka.
Selain analitis kritis, penulis juga menggunakan metode komparasi. Dengan metode ini konsep pengobatan terhadap pasien gangguan kejiawaan Panti Rehabilitasi Loro Jiwo Nurussalam yang berada di Desa Ngepreh, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak yang diasuh oleh KH. Nur Fathani Zein dan Panti Rehabilitasi Mental An-Nuur di desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga yang diasuh oleh KH. Supono Mustajab, disandingkan untuk melihat persamaan dan perbedaan serta effectifitas metode tersebut jika diterapkan kepasien dengan mempertimbangkan psikologis, soial-budaya dan geografis pasien.



[1] Harian Sinar Indonesia pada 26 Oktober 2009, mennyatakan, jumlah orang gila di Jakarta semakin banyak banyak. Persoalan ekonomi dan keluarga menjadi penyebab meningkatnya jumlah orang gila tersebut. Indikasi melonjaknya penderita gangguan jiwa ini terlihat dari pantauan di empat panti sosial milik Pemda DKI, serta di RS Jiwa Suharto Herjan, Grogol, Jakarta. Sejak Januari s/d Maret 2008 tercatat 287 penderita gangguan jiwa digaruk dari jalanan. Sebagai perbandingan, data di Dinas Bintal dan Kesos pada tahun 2005 dijaring 793 orang, tahun 2006 ada 618 orang dan tahun 2007 meningkat menjadi 1.233 orang. Hingga kini terdapat 1.700 orang gila yang ditampung di empat Panti Laras antara lain di Cipayung, Jakarta Timur dan tiga lainnya di Jakarta Barat. Akibatnya keempat panti itu kini penuh sesak dan petugas kewalahan menanganinya.
Di RS Suharto Herjan, yang dikenal dengan RSJ Grogol, khusus menangani orang-orang dengan gangguan jiwa (paikotik), juga terjadi lonjakan jumlah pasien. dr Fidiansyah SpKJ, wakil direktur Medik RS Suharto Herjan, mengatakan dalam setahun terakhir ini angka kunjungan ke poliklinik rumah sakit tersebut meningkat 15%. “Dari prosentase tersebut 10% nya membutuhkan perawatan lanjutan,” tutur Fidiansyah.Padahal ruang rawat inap rumah sakit tersebut hanya memiliki kapasitas 300 pasien. Akibatnya banyak pasien yang mestinya mendapatkan perawatan intensif, terpaksa hanya menjalani perawatan jalan.


[2]Ketidakpedulian ini bisa dilihat dari hasil investigasi Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial DKI Jakarta didapat data jumlah Warga Binaan Sosial (WBS) atau pasien yang meninggal dunia di Panti Cengkareng sejak 2007-Mei 2009 sebanyak 253 pasien, Panti Cipayung sebanyak 70 orang, Panti Ceger sebanyak 7 orang, Panti Daan Mogot sebanyak 15 orang, dan di Rumah Sakit Duren Sawit sebanyak 172 pasien. Jadi total WBS atau pasien yang meninggal di lima tempat tersebut sejak tahun 2007-Mei 2009 sebanyak 517 pasien. Penyebab WBS/pasien tersebut meninggal antara lain karena malnutrisi (kurang gizi). Anggaran untuk konsumsi hanya Rp 15.000 per orang per hari, diare, anemia, dan pada waktu masuk panti WBS hasil razia telah menderita berbagai penyakit fisik (sakit kulit, TBC, anemia, dan lain-lain).   Banyaknya WBS atau pasien di panti-panti tersebut yang meninggal tersebut menunjukkan tidak adanya perhatian pemerint ah terhadap penderita gangguan jiwa. Alokasi anggaran hanya 1,5 persen dari keseluruhan anggaran kesehatan di APBN. Hervita Diatri, psikiater dari Psikiatri Universitas Indonesia yang bertugas paruh waktu ke panti mengatakan, banyak pasien yang tidak mendapatkan lanyanan meski sudah banyak mobile clinic. Kondisi di panti pun memprihatinkan, seperti tidak ada yang mengawasi WBS makan atau tidak, WBS yang gaduh gelisah dicampur dengan yang tenang, panti kekurangan tenaga yang mampu menangani WBS, bahkan ada kepala panti yang merupakan pekerja sosial yang sama sekali tidak tahu soal kesehatan jiwa, lihat Kompas 1 Juni 2009. Masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan jiwa setelah menjalani pengobatan, umumnya masuk ke panti rehabilitasi. Panti ini juga menangani gelandangan yang 'diciduk' Trantib di jalanan. Mereka biasa disebut warga binaan sosial (WBS). WBS yang masih dalam ruang rehabilitasi, terlihat berbeda dengan pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa. Mereka tidak sebersih pasien-pasien RSJ. Apalagi kapasitasnya sudah overload. Sehingga dalam ruangan dengan ukuran 8x11 meter persegi bisa berisi 20 orang. Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2, Jl Bina Marga, Cipayung, Jakarta Timur ini mampu menampung 230 orang. Namun kenyataannya WBS yang ditampung sudah mencapai 433 orang. "Karena overload, ini menjadi masalah umum. WBS kebanyakan bukan orang Jakarta. Mereka pendatang yang tidak tahu harus ke mana, kemudian digaruk Trantib," kata Kepala Panti Nizar Mahfud, Selasa (2/10/2007). Panti ini, lanjut Nizar, melakukan pembinaan kepada WBS yang terdeteksi mengalami gangguan jiwa. Setelah dianggap mulai ada perbaikan, WBS ini dimasukkan ke Panti Harapan Sentosa 3 di Ceger dan bergabung dengan masyarakat. Pantauan detikcom, WBS yang terlihat ada yang sudah membaik kondisinya. Bahkan ada yang sudah menjalankan ibadah salat. Mereka tak berbeda dengan orang normal lainnya. Sedangkan WBS yang baru masuk, masih terlihat kosong tatapannya. Bahkan mereka ada yang tak mau mengenakan baju. Dana Menurut Nizar, panti yang dipimpinnya ini hanya mendapat bantuan Rp 2,3 miliar per tahun dari APBD DKI Jakarta. Padahal dana ideal yang dibutuhkan dua kali lipatnya, yakni Rp 4,6 miliar. Selain itu para WBS ini mendapat jatah makan dengan biaya Rp 15 ribu untuk 3 kali makan. "Dana yang disediakan itu hanya untuk 200 WBS, padahal di sini mencapai 433 orang," ujar dia. Lihat www.detiknews.com Selasa, 02 Oktober 2007
[3] Untuk mendapat gambaran yang utuh tentang Stres, maka dalam bab ini akan dikaji hal-hal yang terkait dengan Stres yang terdiri dari definisi stres, unsur-unsur stres, tahapan stres, korelasi stres dengan tipe-tipe kepribadian dan yang terakhir tentang cara mengatasi stress. Ginting, EP., Mengantisipasi Stress dan Penanggulangannya, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1990) lihat pula Harjana Agus, Stress Tanpa Distress, (Yogyakarta: Kanisius, 1994). Dadang Hawari, Manajemen Stress, Cemas dan Depresi, (Jakarta: Fakultas Kedokteran UI, 2001).


[4]Data 3,5% ini tersebar di Rumah Sakit Jiwa yang ditangani oleh pemerintah. di Jawa Tengah setidaknya ada 8 RSJ yaitu:
Rumah Sakit Jiwa Prof.dr.Soeroyo Magelang, Alamat : Jl. A Yani 169 Magelang Jawa Tengah
RS Jiwa Budi Asih, Alamat: Jl Urip Sumoharjo 91 Magelang
RS Jiwa Klaten, Alamat : Jl Raya Wedi Klaten
RS Jiwa Surakarta, Alamat : Jebres Surakarta, Kentingan Po Box 187 Surakarta, 57126
RS Jiwa Tathya Puri, Alamat : Jl Monginsidi No.82 Surakarta
RS Jiwa Puri Waluyo, Alamat: Jl Kepatihan Wetan Surakarta
RS Jiwa Semarang, Alamat : Jl Brigjen Sudiarto Semarang
RS Jiwa Puri Asih, Alamat : Jl Sompok No.18 Semarang  
[5]Juhaya S. Praja,  Model Tasawuf menurut Syari’ah Penerapannya dalam Perawatan Korban Narkotika dan Berbagai Penyakit Rohani. Tasikmalaya: Penerbit PT Latifah Press Institut Agama Islam Latifah Mubarakiyah (IAILM) Pondok Pesantren  Suryalaya Tasikmalaya, 1995, hlm. 61-63
[6]Rendra (edt.). Metodologi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 219
[7]Setyanto, Arif Tri. Pengaruh Dzikir terhadap Reaksi Fustrasi pada Pengguna Napza (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Islamy, Kulon Progo, Yogyakarta). Skripsi pada Jurusan Ushuluddin FAI-UMS tidak diterbitkan, 2005, hlm. 55-58
[8]T. Hemaya (trans.). Kata-kata Yang Menyembuhkan Kekuatan Doa dan Penyembuhan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 171-172
[9]Dadang Hawari, Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002.

[10] Noeng, Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm. 9
[11] Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek secara indifidu maupun kelompok, suatu program atau suatu situasi social, Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 201
[12] Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hlm. 92.
[13] Gonsuelo Sevilla, Pengantar Metode Penelitian, terj. Alimudin Tuwu, (Jakarta: UI Press, 1993),  p. 7 

1 comments

Nur Hamiyetun said...

assalamualaikum, boleh tanya-tanya contak personnya pondok sayung, demak mboten?

Post a Comment